Semoga percakapan beberapa waktu ini bisa menjadi bahan untuk yang lain. Walaupun tidak berjumpa dan bertatap muka. Seakan akan ikut berdiskusi di dalamnya. Sukar mungkin menemukan ketertarikan ketika membacanya diawal tapi cobalah bertahan paling tidak sampai tulisan ini selesai dirampungkan.
Oppung saat ini usianya hampir 70 tahun, cukup tua untuk kami yang terpaut usia 55 tahun dalam berkomunikasi. Beliau hanya selesai sekolah pada bangku sekolah dasar karena satu dua hal di masa itu sangat sulit untuk bersekolah. Tapi, mamak yang bersaksi sebagai anaknya mengatakan bahwa sejak dulu oppung selalu membaca. Walaupun dia harus berdagang kala itu.
Koran, majalah, buku. Semua hal yang kiranya mungkin dibaca menjadi sasaran. Hanya nasib saja yang tidak cukup beruntung menyelesaikan sekolah dan mendapatkan ijazah. Ada banyak percakapan yang kami bangun. Terhitung di jam longgar saya ketika selesai dengan aktifitas. Kurang lebih ba'da isya sampai menuju tengah malam.
Tiga jam kurang lebih setiap malamnya. Membangun komunikasi masa lalu dan masa kini. Tentunya banyak update dan translate di dalamnya yang kadang membuat kami tertawa. Beliau bilang ilmu jiwa, saya benarkan dengan mengatakan ilmu psikologi. Begitu lah kami saling mengaminkan.
Apa yang kami bahas? Debat atau menyamakan pendapat? Untuk beliau yang mencintai bapak Jokowi terkadang sulit buat saya menghindari debat. Tapi, tak apa untung bahasan tentang Presiden tercinta hanya lima sampai sepuluh menit saja. Pura pura excited saja kalau membahas idolanya.
Dibuka dengan syariat, hakikat, ma'rifat dan sifat lain. Kami bersepakat bahwa uang bukan segalanya tapi uang adalah alat untuk memenuhi segalanya. Termasuk berbuat yang disyariatkan. Kalau ingin bahasan yang dalam bisalah berbincang dengan beliau hehe.
Ketika seseorang mengambil satu tindakan artinya ada yang ingin ia tuju. Bukan semata mata hanya ingin dipandang dan dinilai orang. Maka keliru jika orang memandang pendidikan tinggi adalah gengsi, karena justru itu adalah alat. Ini menjadi dua hal yang jauh berbeda. Ketika orang rela menempuh nya maka ada yang ia harapkan, dan yang diharapkan ini kemudian menjadi alat untuk hidup.
Jadi pembahasan panjang di hari pertama kami sepakat. Itu adalah alat hidup, bukan untuk menunjukkan taraf atau gaya hidup. Pendidikan tidak serendah itu, Oppung meyakinkan bahwa betapa nyamannya hidup dengan ilmu. Mencari penghidupan dengannya.
Wathulubul minal ilmi
Tuntutlah ilmu
Sebesar itulah perintah menuntut ilmu. Bahkan dikatakan untuk belajar dari buaian sampai liang lahat. Karena Allah tahu pasti bahwa manusia harus terus belajar sampai ia mati dan mempertanggungjawabkan segalanya kelak. Tidak mudah menjadi pembelajar, banyak pengorbanan yang dilakukan. Waktu, tenaga, materi segalanya menjadi ukuran pengorbanan.
Tapi, terkadang orang lupa akan risiko itu. Saat meminjam uang ke bank untuk menjalankan usaha, orang melupakan bahwa ada risiko yaitu memenuhi peelunasan dari waktu ke waktu. Tak peduli apakah usaha lancar atau tidak. Hutang wajib dibayar saat waktunya sudah jatuh tempo.
Karena melupakan risiko itu, terkadang orang orang yang meminjam ini meratapi dan menyalahkan keadaan. Padahal kesusahan itu ia yang ciptakan, uang yang dipinjam tadi tidak mungkin tiba tiba ada dikantong nya tanpa transaksi pinjam meminjam. Lantas saat harus dikembalikan mengapa banyak alasan?. Segala kesusahan itu mutlak karena kita yang ciptakan.
Selain risiko pengorbanan. Risiko menjadi contoh dan memberi contoh juga menjadi pemberat seseorang yang bertugas menyampaikan ilmu. Pertanyaan saya muncul pertama kalinya. Apa yang membuat para ustadz yang ada di beberapa pesantren sekarang justru melakukan tindak asusila?.
Sekali tarikan nafas oppung menjawab lugas. Karena mereka hanya memberi contoh bukan menjadi contoh. Perhatikan mereka selalu berkata nabi seperti ini dan seperti itu. Apakah itu memberi contoh atau menjadi contoh? Dia hanya menyampaikan yang ia tahu, tapi belum tentu melakukannya. Maka sangat mungkin dan ringan untuk melakukan tindakan asusila. Mereka tidak benar benar menjadi contoh, hanya memberi contoh.
Maka banggalah menjadi guru. Dan sadarilah tanggungjawab itu. Keikhlasan itu perlu dalam menjalanlan apapun, segalanya butuh keikhlasan. Kalau saat ini meenurutmu apa yang kau kerjakan belum sesuai dengan apa yang kau dapatkan berarti kau butuh waktu dan alat yang lebih untuk itu.
Jangan pernah berjalan pada jalan yang bukan jalanmu. Kalau kereta api jalan di luar rel apa yang terjadi? Balasan pertanyaan oppung mengaburkan kata per kata yang kususun untuk ditulis nanti. Jawabanku cuma, pasti kereta api jatuh. Tidak butuh waktu lama.
Oppung mengiyakan hal itu. Dan menambahkan begitu juga dengan manusia yang melakukan hal yang tidak sesuai alurnya. Hanya karena ingin mendapatkan sesuatu dengan cepat. Itulah yang terjadi pada koruptor dan sejenisnya. Sekolah nya sudah bagus, alat nya sudah lengkap tapi hanya untuk materi yang lebih mengancam banyak hal. Jadi mulailah bekerja dengan ikhlas, pakai alat yang sudah kau punya dan maksimalkan. Soal uang dia akan datang saat kau paham apa yang harus kau korbankan. Jalani relmu (Pesan untuk adik saya yang sudah jadi guru).
Orang terkadang berpikir dunia ini layaknya memesan setelan jas. Saat memakainya tampak kebanggaan diri. Padahal yang membuat jas bukan dirinya, tapi orang lain.
Mustahil dalam hidup itu dijalankan, karena sewajarnya hidup kita adalah tanggungjawab kita. Tidak mungkin bisa dilimpahkan kepada orang lain.
Jas adalah diri kita sendiri yang kita bangun hari demi hari bulan ke bulan hingga tahun. Jadi, memang banyak orang yang menganggap itu bisa dilimpahkan kepada orang lain.
Comments
Post a Comment