I'm not

Jadi ingat percakapan sore yang super random kemarin. Saya aslinya suka bicara apapun tapi kalau tidak dimulai ya seharian bisa diam. Bisa begitu? Bisa banget cuy. Terus disalurkan kemana berapa ribu kata perhari itu. Ya kesini, nulis begini atau buat caption. Yang pasti semuanya bakal tersalurkan seperti biasa. 

Satu dari rekan kerja bertanya dengan nada canda awalnya. Lalu berakhir dengan temperatur tinggi. Dia bertanya apakah saya akan teguh terhadap pendirian saya ketika menghadapi sesuatu. Maka saya jawab tergantung. Relatif, semuanya tergantung apa yang akan dihadapi setelahnya. Saya tidak ucuk ucuk bersikeras dengan pandangan saya ketika memang harus berubah ya maka saya siap akan itu. 

"Bang, aku tidak idealis. Aku tidak semenakutkan pikiran Abang. Kalau Abang punya pilihan B, aku punya pilihan A. Maka aku menerima itu dengan baik. Yang aku gak mau kan itu Abang memaksaku untuk memilih B, padahal disaat yang sama aku gak memaksa Abang memilih A".

"Tidak itu namanya diktator. Kau keras gak mau ikut pimpinan" katanya berapi-api.

"Tadi bahas idealis. Ini cerita pimpinan, mana satu yang mau dibahas"

"Kau gapernah merasakan gimana rasanya pimpinan menyuruh kita melakukan hal yang gak sesuai. Nanti bakal kau rasakan itu"

" Abang meremehkan perjalanan hidupku berarti ini. Bukan berarti aku masih muda, lalu tidak pernah berhadapan dengan situasi prinsipal begitu. Benar, jika pekerjaan yang Abang lakoni dulu keras. Tapi, di semua tempat pasti ada saja hal prinsipal begitu. Kenapa haru meremehkan perjalananku" 

"Bukan meremehkan itu kenyataannya" katanya sambil memperbaiki posisi duduk

" Memang dari tadi juga kita bicara soal kenyataan. Dimana fiksinya coba ini. Satu lagi, aku tidak akan menghadapi masalah itu"

"Gak bisa kau bilang begitu. Nanti bakal kau hadapi"

" Lah, kenapa harus? Tenang Bang. Allah sudah mengatur. Kalau memang saatnya aku harus menghadapi itu artinya Tuhan juga sudah menyiapkan aku untuk itu."

" Ah itu namanya takdir! Realita nya gak semudah itu. Gabisa kau jadi istri Taruna ini. Gak nggeh wae kata pimpinan" 

"Lah yang bilang mudah siapa? Kan gadak. Heheh, sebenarnya apapun jawabannya pasti salah aja ini di mata Abang. Bukan begitu? Lagian siapa yang mau jadi istri Taruna! Gadak kali bang!

"Jadi kalo takdir cemana?"

"Nggak. Tenang aja, Allah tau kok ngasi apa. Kalo ditakdirkan ya mau bilang apa. Tapi kalau bisa ya nggak"

" Ahh kukira kau orangnya Istiqomah ternyata masih memikirkan keuntungan"

"Lah tidak boleh menilai begitu. Abang saja yang jelas buruk sikapnya saja tidak pernah ku judge yang bukan-bukan. Karena apa? Karena manusia tetap punya dua sisi dalam dirinya dan itu bukan urusan ku hehehe" Matanya membelalak sambil tertawa keras. 

"Ahhh bujas lah Lian! Wkwkw Pulang lah Abang" Dia menarik diri dari kursi dan bersiap pulang.

"Berarti selama ini penilaian Abang terlalu sempurna ya. Kan jadi kecewa sendiri Abang. Hahaha, semuanya relatif bang. Kenapa harus bersikeras saat sebenarnya salah. Semua orang harus belajar. Keuntungan itu gak semuanya materil, keuntungan bisa jadi berkaitan dengan moril. Yang jauh lebih penting dari materil. Dalam beberapa kasus. Semuanya relatif"

" Iya kecewa aku... Kau gak Istiqomah"

"Baik... Aku tidak Istiqomah. Walaupun entah dimana sambungannya itu"

"Udahlah aku mau menjemput istriku. Kau gak Istiqomah! " Ulang nya sekali lagi sambil menstarter mesin keretanya. 

"Siap..." Aku melambaikan tanda peperangan berakhir dan dia mendengus.

Sebenarnya yang menakutkan itu sikap kita bukan respon orang lain. Terkadang kita menginginkan sesuatu pada seseorang lebih dari yang orang lain itu bisa lakukan. Akhirnya kita kecewa, padahal harusnya tidak. Kita mencoba menciptakan seseorang itu dalam kenyataannya seperti apa yang kita bayangkan. Padahal, yang namanya bayangan sifat aslinya memang tidak nyata. 

Dan relatif. Mengapa kita sulit menerima segala sesuatu memang relatif. Kecuali berkaitan dengan hukum Allah yang pasti. Karena segalanya masih relatif. Maka tiap orang bisa berbeda cara dalam menghadapi sesuatu. Dan itu tidak salah, dan tidak ada yang berhak menyalahkan itu. 

Akhirnya percakapan kemarin ditonton oleh sisa manusia yang ada di kantor. Menuju jam pulang yang semakin sore. 

Hari ini salah seorang tiba-tiba berkata "Kak, kakak keren! Semalam kakak keren! Awak lupa ngasi reward nya" sambil mengangkat kedua jempol ke udara. 

" Oh kemaren itu? Emangnya semalam kau di ruangan mana? Kok aku gak ngeliat" 

" Di ruangan yang sama kak. Di sofa panjang" kata yang lain menimpali. 

" Oh gak liat aku" 

"Iya kakak serius semalam. Jadi gak merhatikan yang lain". 

Itu yang menjadikan tulisan ini jadi yang seperti kalian baca hari ini. Sayang rasanya kalau hanya sepenggal, takutnya ada manusia lain  yang punya penilaian sempurna tentang saya. Padahal kenyataannya tidak begitu. 

Comments

Post a Comment

Popular Posts