The Power of "Menunggu"
If We love to waiting without none of business. We meant for living no longer.
Ungkapan diatas murni dari hasil pemikiran saya yang masih biasa dalam dunia pe-quote-an. Untuk menulis satu dua bagian disini juga bukan sebuah keterpaksaan. Tulisan ini dan semua tulisan lain ditujukan untuk saya pribadi dan orang lain jika berkenan. Mungkin banyak hal yang terlewat lalu tak berkesempatan dituliskan. Harusnya bisa menjadi bagian dan dibagi untuk orang banyak namun, hanya teronggok di hari-hari yang sudah lewat.
Bicara soal hari yang sudah lewat. Tak jarang kita menyesal justru setelah satu dua hari itu berlalu di depan kita. Walaupun seyogyanya kita dilarang untuk menyesal. Karena menyesal tak mendatangkan kebaikan selain kesedihan dan kerugian begitulah banyak buku coba membahas tentang menyesal dan penyesalan. Namun, namanya manusia tak afdhol rasanya jika tak menyesal. Padahal harusnya semua lebih ringan jika dikaitkan dengan keikhlasan dan merelakan.
Kemarin sekali saya harus bertugas menunggu meja piket. Akhir-akhir ini saya tidak terlalu produktif rasanya. Sedikit cerita tentang keseharian yang bisa saya bagikan. Orang-orang juga bertanya kenapa tidak muncul. Padahal saya memang tidak sedang ingin muncul baik di tulisan maupun di postingan sehari-hari. Karena sedang tidak mau saja. Begitu ucapan saya. Tidak ada yang salah dan menyalahi dalam keseharian. Saya tetap membuka layar hp seperti orang-orang namun saya hanya fokus untuk menonton dan entah mengapa.
Ditengah aktivitas kesenangan saya akhir-akhir ini aka mengumpulkan video-video dari konten kreator lalu akan ditonton setelah sampai di rumah. Adzan berkumandang jauh lebih cepat 20 menit dari biasanya. Mungkin mata hari jauh lebih cepat turun karena hujan mulai turun beberapa waktu belakangan. Aktivitas orang-orang berhenti sejenak lalu satu dua mulai meninggalkan ruangan untuk menuju musholla kantor seberang. Walaupun orang nya itu-itu saja namun, masih bersyukur rasanya masih ada yang tergerak untuk langsung menunaikan kewajiban manusia yang satu itu.
Saya tak berkesempatan untuk ikut hari ini. Karena saya sedang piket, bukan takut kepada orang yang memerintahkan hanya saja saya rasa hari ini harus menunggui tempat penjagaan itu. Nanti saya akan sholat di rumah, walaupun harus kejar-kejaran dengan waktu pulang. Melepaskan kepergian rekan-rekan untuk menghadap Allah terlihat biasa saja. Saya menunggu waktu-waktu mereka kembali tapi tak juga nampak di seberang jalan menuju pintu masuk.
Berulang kali saya mengira ada sesuatu yang terjadi. Mungkin setelah sholat mereka ngadem dengan AC musholla yang terkenal dingin. Atau justru buang air setelah selesai do'a ba'da sholat. Tapi, ini terlalu lama pikir saya. Begitu terus setidaknya ada dua tiga kali saya menoleh ke arah jalan. Mengira ada sesuatu yang terjadi. Ternyata setelah mereka masuk ke dalam kantor dan duduk persis di samping saya, tidak ada yang terjadi. Semuanya murni baik-baik saja, saya yang berlebihan mendramatisir keadaan dimana mereka belum datang.
Dalam hati saya bergumam, beda yang meninggalkan dan ditinggalkan. Ketika kita ada pada posisi orang yang meninggalkan kita akan pergi dengan sebuah tujuan sehingga kita merasa waktu dimana kita pergi dan menyelesaikan tujuan itu tidak lama, karena kita fokus untuk menyelesaikan kepentingan itu. Sedangkan posisi orang yang menunggu kebanyakan hanya fokus untuk menantikan orang yang ditunggu. Kapan kembalinya, apakah baik-baik saja dan banyak lain nya. Tentu ini dua kondisi yang tidak seimbang.
Disaat satu orang merasa baik-baik saja, justru yang lain tidak merasakan begitu. Artinya ada yang salah dari konsep kita selama ini. Kita tidak pernah diajarkan untuk melakukan hal-hal lain ketika sedang menunggu, sehingga kita hanya fokus untuk berharap kedatangan orang yang kita nanti. Dan jika tidak menemui kita pada akhirnya akan melahirkan sebuah perasaan kecewa. Kita terbiasa untuk menumpuk kecewa kecewa tadi menjadi bangunan besar yang ketika terbangun justru tak menguntungkan siapapun.
Kita malas menunggu karena kita sampai saat ini hanya terpaku pada saat dimana kita akan berjumpa. Itu yang menjadikan kita membenci kondisi menunggu, padahal bisa jadi dari waktu yang dijanjikan tepat namun, karena kita sudah menunggu dengan tidak melakukan apa-apa jadilah terselip rasa-rasa tidak penting. Menjadikan kegiatan selanjutnya tidak menarik lagi untuk dilakukan.
Mungkin ini sedikit terlambat untuk disampaikan. Sekarang dan mungkin sampai kita mati, nantinya. Akan selalu ada proses dimana kita menunggu atau ditunggu. Meninggalkan atau ditinggalkan. Namun, ingat satu hal ini dan terapkan. Jika memang harus menunggu maka lakukan hal-hal yang kiranya tak membuat mu hanya terpaut untuk menanti. Dengarkan musik favorit atau mengumpulkan amunisi untuk bahan tontonan atau bacaan. Lupakan sejenak bahwa kita sedang hanya menunggu. Bersikap seolah-olah tidak ada hal yang sedang dinanti dan menikmati waktu-waktu bebas untuk dihabiskan dengan baik.
Jika itu yang terjadi maka selama apapun menunggu maka akan sama saja rasanya. Justru kita akan bersyukur karena bisa menikmati waktu-waktu yang sangat jarang kita nikmati karena menunggu artinya melakukan hal lain. Walaupun tetap saja kita harus bersedia ketika yang menunggu kita telah tiba. Tetap pastikan berapa lama anda harus menunggu, jika memungkinkan maka lakukan hal lain yang durasinya panjang jika hanya sebentar dan menurut perkiraan kita hanya bisa melakukan aktivitas ringan maka tetap lakukan aktivitas itu.
Karena hidup ini memang proses menunggu. Maka jika itu menunggu ajal menjemput kita tak sepatutnya hanya terdiam dan tergugu. Kita justru dianjurkan untuk mempersiapkan bekal sebaik-baiknya. Mencari amunisi untuk menghadapi kehidupan yang abadi disana. Kegiatan-kegiatan menunggu di dunia ini adalah simulasi dan pengingat bagi kita bahwa akan ada masanya bertemu dan ketika masa itu datang kita wajib berangkat tanpa ba-bi-bu.
Selamat Pagi
Semoga hari ini diberkahi
Comments
Post a Comment