Pulang dan Kembali

Hubungan antara perempuan dan laki-laki soal asmara dan cinta-cintaan itu sebenarnya persis fatamorgana, sebab kalau belum saatnya dia tidak akan bisa bertahan lama. Bertahan lama pun bukan menjadi alasan bakal jadi selamanya. Begitulah kira-kira percakapan malam ini. Selaksa peristiwa bermunculan satu persatu. Kita, terbiasa menjadi saksi hidup atas drama orang lain. Ingin mematikan pertunjukan namun, wayangnya masih berlenggak-lenggok seperti tiada akhir. 

Saya ingat persis bagaimana rasanya dikirim undangan oleh seseorang yang saya kagumi bertahun-tahun lamanya semasa sekolah dulu. Itupun saya tahu saya kagum setelah dikirim surat undangan pernikahan nya. Saya sampai ragu kalau saya punya rasa haha. Setahun kemudian baru saya tahu persis kalau itu hanya kagum tidak lebih, dan itupun karena diingatkan oleh teman sekantor. 

Begitupun, saya tetap bersedih dan gundah saat menerima surat elektronik itu. Ba'da Maghrib selesai membaca mushaf. Bukannya dapat ketenangan malah gusar. Entah apa makna membaca Al Qur'an sebelum nya. Terbang begitu membaca direct message dari si dia orang istimewa yang tak berlisensi. Begitu saja sudah galau apalagi yang sudah bertahun-tahun memadu kasih, berbagi kemesraan. Bisa tidak tidur berhari-hari, asal kalian tahu saja saat itu saya tidak tidur satu malam-an. Berpikir, kenapa dia menikah? Kok cepat sekali? Serius itu mau nikah? Padahal surat undangan sudah dikirim masih bisa saya bertanya hal begitu dalam hati, kalau diingat lagi saya juga bukan siapa-siapa, jangankan mantan pacar, diincar saja tidak. 

Yang posisinya tidak jelas seperti saya saja dihinggapi pemikiran begitu. Apalagi yang jelas-jelas bertahun-tahun menginvestasikan waktu dan kadang-kadang uang. Mungkin bisa tidak tidur bermalam malam. Jadilah drama semakin panjang. Kecewa semakin terpampang. Tidak ada jeda di tiap episode, sesal dan sesak menjalar menggerogoti rongga-rongga pikiran dan perasaan. Tidak ada yang bisa dikembalikan. Karena namanya hidup terpaksa disebut hikmah. Biar tak melulu merasa rugi dan lemah. 

Ditinggalkan dan meninggalkan adalah sifat alaminya manusia. Sudah tahu bakal ditinggalkan saja masih nekad pasang badan. Manusia memang ajaib soal mengambil resiko. Tak tanggung-tanggung jiwa raga dipertaruhkan. Beruntung kalau Investasi gagal tak langsung menjajal obat penenang. Kalau sempat iya? Siapa yang kasihan? Ya diri sendiri sudah barang pasti. Belum lagi ibu bapak. Wajah mereka lebih sedih saat itu terjadi. Anaknya patah hati ibu bapaknya yang rela mati. 

Akhirnya perempuan dan laki-laki sama. Kalau sudah begini keduanya sama jahatnya. Perempuan sudah tahu tidak ada jaminan malah dengan suka rela menarkan diri. Laki-laki mau menolak juga kadung menganut istilah tresno jalaran soko kulino, kirain bakal suka sejalan bergulirnya waktu ternyata tak juga istilah lama itu persis namanya hanya jadi istilah. Laki-laki tetap menyukai apa yang ingin mereka suka, bukan apa atau siapa yang menyukai mereka. 

Teman saya berujar itu lumrah. Padahal kalo sudah patah katanya hatinya berdarah-darah. Terus kemarin siapa yang bicara lumrah lumrah an? Kalau sudah begitu lain lagi alasannya. Katanya tak apa punya banyak penangkaran asal tak memakai hati. Lalu, manusia apa yang tidak menggunakan hatinya ketika berhadapan dengan manusia lain? Lantas manusia mana yang tidak memakai akalnya ketika menyebutkan itu. Tidak suka disenggol tapi justru menoyor dengan kasar. Kamu bukan robot, hatimu juga rusak kalau kecewa terus. Tidak langsung gila, tapi kamu membuat temanmu yang gila. Karena kamu sudah mulai tak waras menafsirkan rasa-rasa mu yang abstrak. Pergilah, menepi sejenak petualangan mu itu memang tidak disarankan oleh siapapun. 

Comments

Popular Posts