Nongkrong bukan Nangkring


Saya punya teman yang bisa dihitung dengan satu tangan saja. Saking tidak banyak nya yang bisa saya kategorikan teman. Bukan mereka yang kurang atau tidak sesuai kriteria, tetapi saya yang tidak bisa menyamai ritme mereka. Akhirnya dari setiap fase cuma ada satu dua yang tersisa. Sampai disini, saya juga sadar kalau diri sendiri kurang berminat untuk berkumpul diluar rumah dan menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk bertemu yang katanya teman lama sebagai ajang silaturahmi. 

Saya lebih suka ngobrol ngalor ngidul ditemani jajanan dan itu dihabiskan di dalam rumah. Alasannya macam-macam. 

Pertama. 
Lebih bebas untuk berbicara dan sewaktu-waktu berekspresi yang tidak terduga. Terkadang ketika kita berbicara dengan teman apalagi sudah lama tidak melakukan sesi deep talk pasti ada satu dua pembicaraan yang cenderung ekspresif. Dan tidak sedikit orang yang bakal menaruh atensi ketika kita berbicara. Apalagi orang Indonesia dan ke kepo an nya dan suka ikut campur nya masih menjadi hal yang sulit dihindari. Tidak sedikit yang akhirnya curi-curi pandang dan mendengarkan obrolan. Masih mending itu, yang lebih ekstrem lagi mereka ikut mengulang perkataan yang kita ucapkan namun versi recycle. Heran, mengapa pembicaraan kita justru menarik untuk orang lain. Sementara mereka juga harusnya lebih tertarik dengan obrolannya.

Kedua.
Bisa makan apa saja dalam jumlah banyak. Mungkin bagi yang sering nongkrong cantik tidak akan terganggu dengan fakta ini. Karena tujuan kumpulnya bukan untuk menikmati waktu dan pembicaraan tetapi hal lain, diluar dari itu. Bayangkan kalau konsep ini berubah, bertemu teman dan mengobrol hingga berjam-jam. Otomatis membutuhkan asupan yang tidak sedikit. Dan lagi-lagi saya sudah mengalami hal ini. Ketika pesanan kita habis satu persatu orang-orang akan memandangi seolah kita memamah makanan dalam waktu yang singkat dan menjadi sosok yang rakus. Padahal kita sudah duduk berjam-jam dan mengeluarkan suara beratus menit sebelumnya. Toh makanannya tidak di makan sendiri. Tak puas menatapi piring pesanan justru memandangi kita yang sedang makan. Plis ini masih mangkuk pertama.

Ketiga
Privately. Inti dari pertemuan yang tidak sering adalah kualitas. Saya menjunjung tinggi nilai quality over quantity. Dengan waktu yang tidak banyak, harusnya pertemuan tetap berkualitas. Baik obrolan ataupun tempat. Jadi, itu yang menjadikan saya lebih suka jika menghabiskan waktu bertemu teman di rumah. Bukan di tempat umum atau tempat makan sekalipun. Karena tempat mempengaruhi apa yang bakal dibicarakan. Tidak mungkin hal yang sifatnya privasi dibicarakan di tempat ramai. Syukur-syukur kalau tidak ada yang mencuri dengar. Kalau sialnya ada? Itu yang bakal jadi biang masalah selanjutnya.

Keempat.
Kebiasaan. Lagi-lagi faktor yang paling besar untuk mempengaruhi kesukaan seseorang adalah kebiasaan. Saya lebih suka bertemu siapapun dan mengobrol jika lokasinya di rumah. Entah di rumah saya atau mereka yang saya temui. Kebiasaan ini yang akhirnya menjadi hal yang sulit untuk diutarakan kepada orang lain. Kebiasaan ini sedikit berbeda mungkin dengan orang lalu dianggap aneh dan akhirnya hanya menyisakan satu dua teman yang masih tetap setia untuk berbagi ceritanya. Kebiasaan nongkrong di rumah ini belum tentu lebih hemat dibandingkan nongkrong di luar. Namun, kebiasaan ini lebih menjadikan konsep pertemanan lebih dekat. Walau hanya dengan gorengan dan es teh atau martabak dan air zam-zam dingin.

Karena yang paling penting itu kumpulnya bukan tempat ngumpulnya. Nongkrongnya yang jadi tujuan bukan nangkring dimananya. 

Comments

Popular Posts