Memeluk Renjana
Aku duduk beratapkan langit berlantaikan lantai dapur rumah kami. Pukul setengah enam sore hari ini selesai mencuci piring sambil asik dengan seluler di tangan. Sesekali menadah ke langit, bukan menunggu hujan bukan pula menghayalkan segala cita dan angan-angan. Aku sedang menunggu langit berubah menjadi cantik, minimal seperti warna langit di Instagram orang-orang, jingga atau biru muda. Tapi, langit tampak tak suka dijadikan konten media sosialku. Jangankan berubah warna jingga, sampai menit kesekian warnanya pun aku tak bisa menebaknya.
Cling. Postingan seorang cendikiawan muda terlihat. Si Mbak berbicara panjang lebar tentang bagaimana ia mengakhiri tahun ini dengan karya-karyanya. Publis jurnal yang katanya Internasional. Belum jurnal Nasional dan banyak lainnya. Aku teringat lagi tentang apa yang kulakukan tahun ini, tak mungkin sehebat si Mbak yang berhasil membuat beberapa jurnal Internasional. Yang ada dalam kepalaku cuma apakah aku lebih baik dari tahun kemarin atau justru lebih buruk.
Aku jadi teringat beberapa jam sebelum duduk di dapur belakang. Pembicaraan orang-orang di kantor yang masih itu-itu saja. Para perempuan asik dengan melihat make-up dan tutorialnya. Aku tak banyak tahu tentang bagaimana memoles alat-alat ajaib itu. Mereka berdecak karena kagum dan berdecit karena tak mampu memoles wajah bersinar aka glowing seperti model Instagram yang mereka tonton.
"Lian?! Itu apa yang dipake nya kayak koje? " Pertanyaan mendada padahal aku tak sama sekali melihat apa yang mereka elukan dari tadi. "Coba liat kak?" Aku menunggu part koje yang ditanyakan tadi. Koje dalam bahasa daerah disini serupa penghapus untuk pensil. Sewaktu kuliah dulu kawan-kawan menyebutkan benda yang sama dengan nama stipo. "Oh itu concealer Kak. Makanya alis yang selesai dicorat-coret tadi bisa dirapikan. Bukan koje kak, dia gabisa nyulap." Aku menjelaskan benda yang ditunjuk pada layar pipih tadi. "Ohhh ada menjualnya?" Baiklah proses ini memang harus sabar. "Ada lah kak, itu dia dapat darimana kalo gak dibeli". Kakak yang bertanya pun akhirnya mengangguk takzim.
Begitulah, tidak ada obrolan yang menambah wawasan. Hanya menambah tingkat kesabaran. Jika kupikir pikir, sepertinya aku mendapatkan prestasi tahun ini. Menjadi orang tersabar, mengabaikan plan A menjalankan plan B, C dan seterusnya. Berharap bertemu dengan orang-orang berjenis S, nyatanya dihadapkan dengan orang berjenis Z. Tak apalah asal bukan aku yang berubah.
Melirik ke arah langit. Ternyata sudah menggelap, jingga yang ditunggu tak juga berganti. Sudah lama tak melihat langit berwarna oranye. Kupeluk erat renjana, mengabaikan segala rencana. Fokus dengan apa-apa yang bisa dilakukan sebab tak ada yang tau pasti apakah musim ini layaknya musim dingin yang akan berakhir. Daripada terus meranggas , sedang pepohonan akan kembali bertunas melewati musim yang terus berganti. Musim ini tidak akan mematikan yang bersikap welas, justru akan memusnahkan yang abai dan mawas. Seperti pepohonan di empat musim, aku harus belajar membawa diri dan beradaptasi.
Begitulah, tidak ada obrolan yang menambah wawasan. Hanya menambah tingkat kesabaran. M.E 2020
ReplyDeleteWahahaha Adam was here...
DeleteBegitulah. Dimana pun ku terdampar, meski tak suka, ada pelajaran yg harus ku rekam utk paham pesan Tuhan.
ReplyDeleteLet me guess? Oh Kakak ku... Si penangkap warna langit yang selalu cantik.
DeleteYuhu, that makes us stop to looking for anything.