Hari ini kamu mengenal dunia, esok dunia mengenalmu
"Akan selalu ada orang yang membawamu kepada dirimu yang lebih baik. Akan selalu ada waktu untukmu kembali pada apa yang sudah kamu mulai. Hanya apakah kamu melihat dan merasa terpanggil atau tidak"
Akan selalu ada awal dari setiap percobaan. Begitu juga dengan blog ini. Pada 2012 tepatnya 8 tahun silam saya sudah mencoba belajar untuk membuat blog. Tanpa tahu untuk apa dan jadi apa kedepannya media ini. Saya ingat betul dengan modem Smartfren saat itu saya mencoba fitur blog satu persatu. Saya letakkan jam di ujung dengan metode antah berantah. Awalnya elegan lama-lama terlihat norak. Di 2012 saya umur berapa saat itu. Mengerti pun tidak untuk apa saya membuat blog. Tapi dengan modem yang sudah terbatuk-batuk terus saya ajak untuk menyelaraskan bentuk blog yang isinya saja tidak ada. Bukan tidak ada isinya lebih tepatnya tidak berguna, bagaimana tidak saya hanya meletakkan gambar-gambar cantik yang saya download dari Firefox kemudian saya upload di blog. Kerjaan sia-sia bukan? Tapi itulah yang dulu saya lakukan.
Sekembalinya saya menulis itu bukan di tahun ini sebenarnya jauh sebelum ini. Di 2016 tepatnya salah satu postingan yang masih saya simpan dan menjadi postingan tunggal sebelum di 2020 memulai kembali. Tidak benar-benar fakum dalam menulis. Saya tidak suka menulis itulah yang selalu saya ujarkan kepada siapapun. Sampai di akhir 2018 saya bertemu dengan dosen pembimbing untuk menyelesaikan tugas akhir skripsi. Bahkan saat itu saya masih mengatalan hal yang sama.
"Bapak saya siap untuk membaca buku apa saja. Tapi, untuk menulis saya tidak tahu harus mulai darimana. Saya tidak suka menulis"
"Lalu, kalau sudah begitu saya bisa apa? Kalau kamu tidak yakin, apalagi saya. Kalau sudah bilang begitu, saya juga tidak bisa apa-apa".
Begitulah dialog pertama saat menentukan apakah perjalanan menulis skripsi ini akan ada akhirnya atau tidak. Saya lebih suka jujur akan apa yang saya tahu dan tidak tahu, apa yang saya mampu dan tidak mampu. Sehingga lawan bicara saya tidak terjebak pada hal-hal indah yang pada nyatanya tidak ada. Dosen saya selalu mengingatkan betapapun dia sudah mencapai gelar apapun, jika anak didiknya tidak ingin berjuang maka apa yang ada pada dirinya tidak berguna. Dari situ saya sadar, tidak seharusnya bersandar pada siapapun. Seberapa sulitnya melawan ketidaksukaan, ketidaknyamanan, dan penolakan atas sesuatu pasti akan membuahkan hasil. Entah hasil yang luar biasa atau malah justru biasa-biasa saja. Yang pasti akan menjawab seluruh paradoks yang ada didalam diri.
Beberapa bulan berlanjut dalam menulis saya tetap membaca dan akan selalu membaca, tapi saya tidak bisa berjanji pada siapapun bahkan pada diri saya untuk menulis. Menulis pun karena tugas akhir. Menulis yang saya maksud bukan menulis curhatan tapi lebih kepada tulisan ilmiah yang dasarnya jelas. Tulisan yang punya sumber dan punya dasar untuk dipertanggungjawabkan. Sehingga lambat laun keterpaksaan itu muncul menjadi kebiasaan dan menjadi kebisaan.
Beliau mulai mendikte saya untuk membuat skema satu persatu. Menjadikan kerangka pada tiap pemikiran yang ingin dituliskan. Mencoba mengembangkan tiap pemikiran menjadi kalimat kemudian paragraf. Dan membentuk satu kesatuan yang utuh. Materi itu sampai di kelas malam saat itu baru saya dapatkan di semester akhir, mata kuliahnya saya masih ingat jelas "Penelitian Akuntansi". Tidak semua ilmu kepenulisan dimulai dari forum-forum penulis hebat. Atau dengan baliho-baliho resmi untuk kepenulisan. Percaya atau tidak saya tidak pernah melewatkan kelas saat itu, saya jenis mahasiswa yang tidak suka di kelas. Saya akan memanfaatkan masa cuti yang diberikan pada jtiap mata kuliah. Misalnya pada mata kuliah A boleh libur selama dua hari. Bahkan kadang lebih untuk mencari ilmu baru di luar. Tapi jangan ikuti hal ini kalau tidak profesional dibidangnya.
Kelas akan selalu menjadi serius bahkan untuk anak-anak yang tidak serius sekalipun. Guru kami yang satu itu tidak kejam, tidak sama sekali. Perawakannya yang bersahaja serta memberikan kepercayaan dan dorongan besar untuk kami mahasiswa tidak menganggap diri kami dungu walaupun sebenarnya memang begitu. Selalu ada pertanyaan di kelas itu. Tidak pernah absen untuk tidak menjawab keingintahuan kami yang mungkin sebenarnya tidak perlu dipertanyakan. Tapi, karena dasarnya kami memang tidak tahu mau bagaimana.
Sampai terbentur pada satu permasalahan, beliau akan selalu berkata sebaliknya. Sampai siapapun akan bingung harus menjawab apalagi. Karena selalu ada patahan pada setiap keluhan. Siapapun suka mengeluh tentang apapun. Jika tidak dipatahkan mungkin selamanya akan menjadi manusia payah. Akhirnya saya selesai dengan tugas akhir skripsi. Bukan karena saya yang hebat tapi karena beliau yang sabar menghadapi anak seperti saya. Setiap bimbingan mungkin ada banyak pertanyaan saya yang selalu saja lolos. Saya fikir tidak perlu lagi menulis jika saya melontarkan pernyataan-pernyataan sarkas.
"Bapak, untuk apa ini semua? Saya tidak tau apa gunanya menulis ini semua?"
"Lalu untuk apa kamu datang kepada saya? Kalau kamu tidak tau untuk apa semua ini?
"Yakan saya nanya bapak? Kok bapak nanya saya balik?"
"Saya tidak bertanya. Justru itu jawabannya Mahlian. Kalau kamu tidak tahu apalagi saya. Kamu yang memilih ada disini. Saya hanya menjalankan tugas saya".
"Bapak memang selalu ada jawaban ya pak. Biar saya menulis. Begitu kan?"
"Memang begitu kan tugas saya. Memastikan kamu menulis."
Dan begitulah sampai niat untuk berhenti tidak jadi .begitu seterusnya. Mungkin proses bimbingan tiap mahasiswa bisa berbeda durasi waktunya. Tapi dengan mahasiswa yang tidak suka menulis seperti saya akan memakan waktu banyak. Semua hal harus jelas. Kalau bukan beliau orangnya mungkin ruang sidang bakal jadi pentas drama selama masa kuliah. Sebab sudah terbiasa berdebat dan dipatahkan selama menggeluti tugas akhir. Masa sidang bukan apa-apa lagi.
Selesai dengan tugas akhir, saya mendapatkan banyak bingkisan selesai sidang. Ada sekitar 10 buku 3 diantaranya jurnal untuk menulis. Saya tidak jelas dan tidak pasti mereka memberi itu untuk apa. Sebab jika buku bacaan akan ada habisnya. Kalau jurnal mau tidak mau saya harus menulis. Sebelum kembali ke blog saya menulis di jurnal-jurnal itu. Dasarnya saya tidak suka bertele-tele saya bosan dengan jurnal manual. Hingga di 2019 akhir salah satu teman mulai menulis di Blog barunya. Saya yang pertama mungkin mendapatkan kesempatan membaca. Lalu saya terfikir ketika melihat postingan nya pertama kali. Apakabar dengan diriku yang bahkan sudah mempunyai akun blog jauh lebih lama dibandingkan dia. Apa salahnya memulai kembali. Pasti sudah terlambat, tapi bukankah terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali.
Menulis adalah cara terbaik untuk tetap melekat pada setiap benak. Kita memiliki keterbatasan pada hal-hal yang tidak terbatas. Maka menulis adalah solusinya. Menulis adalah cara terbaik untuk melupakan batas dan sekat tersebut. Kamu bahkan akan lupa kejadian hari ini. Tapi tulisan akan membawa kembali pada memori tersebut. Membukanya serupa bak benang kusut.
Comments
Post a Comment