Layak untuk Diperjuangkan
24 jam rasa rasanya kurang kalau dipikir pikir. Bangun, menghayal tiba-tiba sudah maghrib saja. Tapi, pasti 24 jam sudah didesain pas untuk manusia oleh Allah, yang maha tahu. Sebelum maghrib juga saya sempatkan menulis ini, semoga bermamfaat untuk saya dan kalian.
Kalau dipikir pikir selama 24 tahun ini, saya juga tidak pernah mencari tahu kenapa waktu yang tersedia hanya 24 jam, bukan 36 atau 48 jam. Ingatkan saya mencari alasan itu nanti. Tapi, kali ini saya tidak akan membahas itu. Kali ini bahasannya cukup mainstream tapi, masih lumayan sering diperdebatkan layaknya tidak pernah ada kesimpulan sampai akhir.
Saya termasuk orang yang meyakini bahwa setiap orang akan berusaha menutupi kekurangannya dengan sesuatu hal, bagaimana pun itu caranya. Termasuk ketika seseorang tidak bisa mengerjakan sebuah pekerjaan dengan sempurna selayaknya orang lain. Semua orang seyogyanya akan berusaha melakukan itu. Bukan agar dianggap baik, tapi ada keinginan alamiah yang mendorong sesorang melakukan itu.
Misal, seorang perempuan dalam paradigma masyarakat harus bisa memasak. Ini mungkin bukan hal baru, sebagian bersepakat sebagian lagi memilih untuk tidak bersepakat. Atau ada bagian lain yang memilih untuk tidak berpendapat. Lazimnya, hal ini akan dengan keras dituntut pada anak anak perempuan. Tapi, kalau dipikir lagi seperti ungkapan diawal. Seseorang akan menutupi kekurangannya bagaimanapun caranya.
Begitu juga dengan perempuan yang tidak terlalu mahir memasak. Apakah dengan tidak mahir ini menjadikan ia tidak layak? Tentu tidak. Banyak hal lain yang menjadi penilaian pada diri seseorang, jika ia tak mampu pada satu hal bukan berarti dia cacat akan hal lain. Dan yang harus diingat adalah, setiap orang selayaknya akan belajar selama nafas masih dikandung badan. Tentu selama itu juga ada kemungkinan bahkan banyak kemungkinan seseorang belajar untuk hal-hal yang kurang mahir ia lakukan.
Seorang teman itu bertanya. Sudah bisakan jadi istri?. Jika indikator menjadi istri adalah mahir memasak, maka akan sangat banyak orang yang akhirnya tidak memilki kesempatan itu. Maka, pernikahan adalah wadah untuk terus belajar, dari yang tidak bisa menjadi bisa, dari yang bisa menjadi mahir. Setiap harinya manusia akan berusaha menjadi yang terbaik versinya, jika mengikuti saran atau pepatah hari ini harus lebih baik dari hari kemarin.
Yakinlah semua orang ingin tampil dengan versi terbaiknya. Bisa memasak, mengganti saklar lampu, kalau bisa menjadi teknisi kendaraan sendiri. Tapi, apakah kesemua itu harus dikuasai? Lalu apa gunanya manusia lain yang bersedia melakukan itu, bukan kah itu gunanya hidup. Saling berdampingan dan membutuhkan. Saat kau tidak mampu pada satu hal, ada orang lain yang bisa melakukannya walau tentu kau harus membayarnya dengan sejumlah materi.
Kamu hanya perlu hebat pada satu hal dan bermanfaat pada hal tersebut. Hal yang tidak bisa kamu atasi akan diambil alih oleh orang lain, tidak cukup 24 jam jika kamu harus menguasai semua hal. Cukup menjadi tahu, tidak untuk menjadi master atau ahli pada segalanya.
Comments
Post a Comment