Tuhan Maha Adil?!

Tidak habis-habisnya manusia membahas manusia lain. Kaya, dipermasalahkan miskin apalagi. Kalau orangtuanya kaya lalu anaknya biasa saja orang-orang menganggap hidup orangtuanya gagal lalu mempercundangi hidup anaknya. Jika orangtuanya miskin lalu anaknya kaya orang bilang mereka beruntung dan roda sedang berputar. Sebenarnya kalian maunya apa? 

Saya berulang kali menggelengkan kepala karena tak habis pikir sekian kali dengan pernyataan tidak bertanggungjawab orang lain atas hidup manusia diluar sana. Tidak kenal dekat, bukan keluarga dan siapa-siapa tapi bisa berkata demikian kejamnya. Saya ingin sekali diam dan tak mengeluarkan sepatah katapun saat itu. Karena keram perut alami karena proses dinding rahim yang meluruh. Namun, apadaya dia yang sedang berorasi meminta langsung pendapat saya. 

Sambil mengelus perut yang sakit bukan main di puasa yang ke dua puluh empat empat saya mencoba meluruskan kusut masay yang dibuatnya sendiri. Saya salah apa dihadapkan dengan manusia-manusia tidak senang hati ini. Setiap hari ada saja ucapan dan pikiran salah jalannya. 

" Ini aku yang ditanyakan? Ok, jangan dipotong sampai aku selesai. Bang, hidupmu itu tanggungjawabmu, bukan tanggung jawab orangtuamu atau anakmu. Kalau kau kaya, Alhamdulillah artinya kau dikasih kesempatan menikmati harta yang lebih. Tapi, kalau besok di masa depan anakmu tidak sekaya kau bukan berarti anakmu gagal. Pertama karena hidupmu punyamu dan hidup anakmu punya anakmu. Kedua jangankan secara kekayaan, waktu lahir kalian saja sudah beda apalagi waktu untuk kaya jelas udah jauh dari kata sama". Aku mengakhiri jawabanku yang masih belum membuat nya puas.

" Tapikan harusnya kalau orangtuanya kaya anaknya udah punya modal. Udah gampang mau jadi apa aja. Ini kenapa malah makin menurun malah kadang hartanya habis" 
Dia masih mengurut kepalanya yang pusing entah karena apa.

" Modal? Jadi menurutmu yang menjadikan orang kaya itu modal dalam bentuk harta? Yang menjadikan orang kaya itu ada banyak faktor. Kalau modalnya tidak sesuai dengan kemampuannya untuk memutarkan modal itu mau bentuknya materi atau apapun pasti tidak akan berjalan. Singkatnya tiap orang punya modal masing-masing untuk mendapatkan kekayaan yang ada dalam pikiranmu itu bang."  Saya masih tetap tidak mengerti mengapa orang merasa modal setiap orang untuk kaya itu sama. 

"Ah berarti gagal lah anaknya kalau begitu" Enak saja pikir saya lamat-lamat. Hanya antena jumlah harta yang dihasilkan tidak sama seseorang dianggap gagal. 
"Gagal? Terus kalau anakmu suatu hari jadi kaya, berarti kau gagal gitu jadi orangtua? Soalnya anakmu kan lebih kaya darimu?!" Saya menghunuskan pandangan kearahnya menunggu jawaban klasik apalagi. 

"Kalau begitu berhasil lah aku jadi orangtua." Katanya sambil membusungkan dada. 
"Oh begitu ya. Kalau anak tak punya kekayaan melebihi orangtua artinya gagal tapi kalau anaknya lebih kaya orangtuanya berhasil. Yaudah, kalau begitu selamat jadi orangtua yang berhasil dan jadi anak yang gagal lah ya." Biar obrolan berakhir aku membuat kesimpulan yang ia inginkan. 

" Bukan begitu. Maksudnya Allah adil, dulu mereka kaya sekarang jadi orang biasa aja. Memang gak miskin tapi gak sekaya dulu" Allah bisa marah kalau dikaitkan dengan jatuhnya seseorang. Allah mengizinkan segalanya terjadi dalam hidupmu, namun jelas kau harus melakukan serangkaian ikhtiar. 

" Hahahaha... Kenapa Allah dibawa-bawa saat orang melarat. Jangan salahkan Allah dan bilang itu keadilan. Kaya atau tidak itu karena kerja keras dan tentu atas izin Allah. Mustahil dia tiba-tiba kaya kalau bukan karena usahanya. Allah tidak sekejam itu memilihkan nasib manusia, Allah bilang manusia bisa improvisasi dengan muamalahnya tapi urusan ibadah wajib harus sesuai dengan aturan nya. Bagian mana lagi yang mau dibilang Allah Maha Adil ketika seseorang jatuh miskin. Kejam sekali Allah kalau begitu ceritanya". Saya makin pias melihat kenyataan bahwa mereka masih saja mengaitkan jatuhnya seseorang karena Allah mengazabnya atau menunjukkan kekuasaannya. Allah tidak ikut campur hal remeh seperti itu. 

"Bukan begitu maksudnya bukan miskin tapi tidak sekaya dulu. Terus orang yang udah kerja keras tapi gak kaya itu cemana? Berarti yang kau bilang tak cocok lah?!" Memang ini manusia suka mendebat, bukan mau diskusi dari tadi muncul terus pertanyaan baru. 

"Tak sekaya dulu maksud mu pasti melarat bang, kalau yang kau bilang kerja tapi tak kaya harus diperiksa lagi kerjanya sudah sesuai persyaratan untuk kaya atau tidak. Dan kaya yang kau bilang luas ukurannya. Sebenarnya yang mau kaya kau apa orang orang itu? Kok kayaknya gak terima aja dari tadi" Saya semakin malas dalam percakapan ini. Tidak menambah justru membuat jengah. 

"Aku menceritakan tentang orang lain. Tapi, jujur aku pengen jadi orang kaya. Dihargai banyak orang, punya kekuasaan. Kau tak tahu rasanya itu. Popularitas itu enak" Dalam hati saya sudah semakin kasihan melihat manusia ini. Tidak dijawab takutnya semakin sesat dijawab nyatanya memang sudah tak tertolong. 

"Niatmu sudah tak baik kalau jadi orang kaya. Beratlah kalau jadi orang kaya. Yang kau bilang semua itu cuma ambisimu bang. Kau gak butuh itu" Saya mulai paham jika dari tadi ia berapi-api karena tak paham sepenuhnya kehidupan orang kaya yang ia bahas mati-matian. Dia hanya melihat sebagai orang luar, bagaimana mungkin dia menjadi kaya jika mindsetnya berantakan. 

"Bahh kau gatau ya orang kaya itu enak. Itu ada orang kaya punya rumah makan besar 10 cabang. Tak perlu dia kerja lagi macam kita ini. Sekarang kerjaannya jalan-jalan dari satu tempat ke tempat lain. Keliling pulau Jawa pokoknya banyaklah perjalanan dia. Tenang hidupnya?" Ternyata dia sedang lelah bekerja makanya berbicara melantur kesana sini. 

"Hahahaha itu bukan tenang tapi mencari ketenangan. Tenang itu bukan jalan kesatu tempat terus pindah ketempat lain lagi. Tenang itu bukan karena kau pergi kebanyak tempat, kalau kau tenang tak butuh banyak tempat buat itu. Dirumah sendiri bisa merasakan itu" ternyata ini akhir dari pergulatan batin nya dari tadi. Saya berpikir dia ingin kaya, ternyata dia ingin tenang tapi dia tak sadar. 

" Hahahahahaha.. betul betul. Betul yang kau bilang Lian." Dari tadi harusnya memang sudah betul. Tapi, kenapa baru ini dia berkata betul. Ya Allah Tuhan kami, perut saya belum ilang nyerinya. Tapi syukurlah dia sudah berhenti dengan pergejolakan hatinya yang memaksa saya harus menjawab. 

Ya Allah, rasa-rasanya manusia suka sekali memaksakan pikirannya. Apa tidak bosan ya jadi Tuhan menghadapi manusia-manusia seperti itu. Saya mengahadapi satu saja sudah mau menyeburkan diri entah kemana. Apalagi milyaran manusia yang setiap hari bertanya dan meragukanNya. Barang tentu saya sudah mengundurkan diri menjadi Tuhan jika harus menghadapinya. Tapi sepertinya Allah tahu persis untuk menanggapi manusia manusia seperti itu bukan?


Note : Kamis, 06 Mei 2020 (Siang)

Comments

Popular Posts